malam kedua saya ada ditaman ini, seperti ada kekuatan gaib yang menarikku untuk kembali. den haq kota dengan kehidupan berjalan lambat, waktu berjalan dengan putaran yang gemulai, tak perlu bergegas. pohon akasia diselingi venus berjejer seperti pasukan kompeni. bulan juli ini bayangan memantul 19 jam dan membagi sedikit untuk pekat. musim panas tak menyisakan meriahnya tulip dan daffodil yang mekar tiap april dan mei, hanya tinggal kenangan.
taman ini tak seorang pun tahu namanya dan mungkin tak seorang pun terlalu peduli, sungai rhine yang membelahnya, gemericik air bersahutan seperti nyanyian musim panen dikampungku yang jauh. bangau, gagak dan merpati bercengkrama riang, tak ada yang perlu di perebutkan. kedamaian mengisap semua penghuni kota untuk mau berbagi dan memberi ruang pada semua. namun Formalitas simposium membuatku jenuh lalu senja di taman ini tempatku berlari. senja ini mengingatkanku pada lukusan van gogh yang dengan sepasang lelaki dan perempuan tua dalam bayangan panjang pada suatu senja.
siang, sepenanak nasi lalu telah lewat, kursi ketiga dari ujung setapak dengan pohon venus yang tak lagi berbunga menjadi tempatku meringkuk. diseberangnya dibangku dekat sungai ada gadis yang sepenuhnya bulat dari hidung, mata dan wajahnya. rambutnya hitam kelam berponi tipis tidak rata membatas di kenignya. garis keturunan indo melekat di karakter wajahnya. kupikir dia indo_belanda sebab kulitnya bening. shawll orange selalu melingkar di lehernya, sekedar membentenginya dari angin yang berhebus dari selat inggris.
sudah dua malam ini dia juga duduk di bangku itu. dipinggir sungai memegang kerikil yang sekali-kali di lemparnya ke sungai. Acuh dengan sekelilingnya, mungkin jiwanya sedang mengembara jauh, entah apa yang dipikirkanya. sambil menahan gigil sebab angin menyusup di kancing baju jas winter yang kubawa dari indonesia. kukenakan saja walau mungkin tidak tepat musim, tak akan ada yang memperdulikanku. terus ku perhatikan gadis, yang asyik dalam dunianya sambil terus melempar kerikil ditanganya ke sungai. menciptakan gelombang dan riak yang melingkar.
“goedenavond” sapaku setelah mengumpulkan segenap keberanian untuk mendekat dan menyapa.
tertegun sedikit panik sepertinya, kaget ada lelaki yang menghampirinya. di perhatikanya aku dari atas kebawah. lelaki asing ini dari dari negeri yang jauh mungkin begitu pikirnya.
”selamat malam” setelah terkumpul kesadaranya. kali ini aku yang terkejut, menjawab dia dengan baHasa ibuku. namun segera kuatasi gugupku, ku ulurkan tangan dengan setengah tertahan dan kelIhatan canggung.
”namaku fatih” belum disambutnya tanganku.
”maand namaku” menjawab ramah dan pelan tapi tak diraihnya tanganku, awal yang baik kupikir menenangkan diri.
”boleh saya duduk disini” menunjuk bangku panjang yang dia tempati, yang hanya bisa memuat untuk berdua. tak menjawab namun dia bergeseR dia kepinggir bangku. segera saya duduk disampingnya.
lalu kami diam dan menghirup kesunyian taman ini. lama, namun sibuk aku berpikir dari mana memulai pembicaraan.
”dua malam sudah, saya telah memperhatikamu duduk disini, terus menciptakan gelombang di sungai itu” ujarku setelah bisu.
”kukirimkan rindu pada lelaki di samudera jauh, mungkin gelombang ini bisa mengantarnya” sahutnya, kali ini rinai suaranya.
”kenapa tidak kau titip pada angin, dia akan lebih cepat menyampaikannya” ujarku pelan menerawang jauh..
”sebab angin kadang berkhianat dengan bergantinya musim” jawabnya sambil melirikku.
”umm....lalu Apa yang memisahkan kalian” kejarku ingin tahu
”mimpi masa kecilnya, tentang dunia dinegeri seberang, tentang langit yang sepenuhnya biru dan tanah yang seutuhnya putih atau tentang bumi dengan empat musim, membuatnya ingin mencipta jejak pengembaraan” jelasnya
lalu angin berhembus kencang, mencipta dingin. namun hangat matanya menyelusup lebih kuat di sumsum tulangku. pun terkenang Aku pada gadis yang berjarak 12000 mil dari sini, tiba-tiba perih menyerang beserta rindu yang datang menggelombang.
*********
”Kenapa namamu maand ?” tanyaku, dimalam ketiga ketika kami kembali bertemu di taman itu. tanpa janji, namun semesta rupanya mempertautkan rasa kami untuk menggegam rindU pada taman ini.
”aku dilahirkan dalam kesendirian, menjalani setiap rangkaian takdirku seorang diri. semua orang menyayangiku tapi tak pernah kuasa untuk mendekat hanya sekedar menggenggam tanganku guna beriringan. cahaya yang datang dari jauh yang kupantulkan agar terang hidupku sedikit berguna bagi orang-orang yang kusayangi, begitulah seperti maand” terangnya
tertegun aku, bisu. setiap orang Memang hanya menjalani satu takdir dalam hidupnya. dan takdir gadis ini adalah kesendirian, teka-teki takdir menjadi salah satu rahasia-nya yang paling tersembunyi. hanya dengan kuasa-nya pula semua bisa tersingkap bagi jiwa-jiwa yang berserah dan mau mencari. tiba-tiba ingin aku memeluknya atau sekedar menggengam tanganya guna menghangatkan hatinya, atau memberikan sekedar isyarat bahwa dia tak pernah sendiri di dunia ini.
”ini peganglah” diberikanya aku sepucuk kertas setelah becerita kami tentang kekasih yang jauh. sEorang laki-laki yang datang tiba-tiba dalam hidupnya di awal musim hujaN yang tak dikenalinya. laki-laki yang mengisi banyak ruang dalam hidupnya, mencampurkan semua rasa. Cinta, rindu dendam dan benci datang satu-satu dan kadang bersamaan, membuatnya harus bekerja lebih keras hanya untuk sekedar menarik napas kala semua rasa itu datang. namun dimusim panas ini lelaki itu sedang pergi, menyusur semua Impiannya.
”jangan di lihat dulu sampai kita tak bertemu lagi, dan kau benar-benar ingin kerumahku” ingatnya, ketika malam makin pekat dan gagak pun mungkin telah kembali kesarangnya.
*********
malam ke-empat aku di taman ini, sengaja datang lebih awal agar dapat kujamah senja dengan lembayung orange yang berpijar di permukaan sungai tamaN. Tak benar-benar ku nikmati. ingatanku terus mengembara pada gadis itu, dan mencoba menyururi semua liang dalam jiwanya. gadis cantik, cerdas dan bisa melihat hidup dengan terang, walau mungkin kesendirian telah menciptakan ruang kosong dalam jiwanya, hingga terkadang tak tahu Apa yang di ingin dicapainya. terlalu lama terperangkap dengan sunyi dan sendiri.
senja telah lama berlalu, namun maand belum juga muncul.. pekat sudah mulai terasa. angin semakin kuat bertiup, kususuri seluruh taman tak juga kutemukan, mungkin sebentar lagi dia akan datang. duduk aku di bangku itu tempat kami bersama maand, melempar-lempar kerikil kesungai, gelombang tercipta mengantarkan aku merindukan gadis di negeriku. gadis yang mengajariku bagaimana cara mencintai dengan tepat dan layak setelah gerah aku dengan sepI.
”tak juga datang” gumamku setelah tengah malam lewat, kususuri taman sekali lagi dan kosong.. gelisah aku tak sempat ku dapat nomor teleponya, tiba-tiba aku merasa sendiri dan rindu dengan percakapan hangat bersamanya. teringat aku dengan kertas yang di berikanya, segerah kurogoh kantung bajuku dan kubuka lipatan kertas itu..
ada alamat yang tercantum..
jalan........ ”ha...” tercekat aku, melihat alamat yang tertulis, tak asing bagiku. jalan dengan nomor rumah ini, tempat aku selama ini menautkan sauh rinduku. Maand ....??
Pulang aku dengan langkah satu-satU...
den hag, 5 Juli 2009
dalam kerumitan takdir, hanya yang besarlah yang berjasa